Wednesday, July 24, 2013

Patih yang Pandai Bersyukur

Diposkan oleh Unknown di 7/24/2013 03:17:00 PM


Di dalam hidup ini ada dua jenis peristiwa yang datang menyambangi kita, yaitu peristiwa yang kita inginkan dan peristiwa yang tidak kita inginkan. Untuk jenis yang pertama, bila ia malas datang maka berbagai ikhtiar kita kerahkan untuk membuatnya sudi bertandang. Dan apabila ia datang, kita akan menyambutnya dengan segenap kegembiraan.
Untuk jenis yang kedua, segala daya kita upayakan untuk menolak kehadirannya. Dan bila dengan terpaksa dia datang, berbagai reaksi kita tampilkan, dari mulai atraksi kemarahan sampai pertunjukan kesediahan.
Alkisah, rupanya hari ini, Darno, saudara sepupu Sarimin, tengah kedatangan peristiwa jenis kedua. Berhari-hari ia hanya mengurung diri di kamar. Makan ia tak mau, mandi ia malas, dan bicarapun seperlunya saja.
Ini semua berawal dari ujian penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang baru saja diikuti Darno. Dalam pengumuman yang sudah dikeluarkan oleh panitia, nama Darni tidak tercantum. Padahal sejak dulu di bangku SMA Darno sudah bermimpi menjadi PNS. Berbagai upaya telah ia kerahkan, mulai dari upaya teknis seperti belajar soal-soal ujian PNS, sampai upaya magis seperti puasa dan tirakat. Tetapi hasilnya Darno tetap tidak diterima menjadi PNS.
Sarimin ikut prihatin engan musibah yang menimpa saudara sepupunya itu. Ia kemudian mengajak Darno datang ke rumah Sang Guru, Kiai Soleh.
“Tumben ngajak Darno kesini, Min,” sapa Sang Guru.
“Ya memang tumben, Kiai, ini saja saya yang maksa kok,” jawab Sarimin.
“Hari gini masih main paksa, apa kata dunia! Hahaha ...,” Kiai Soleh berseloroh.
“Ah, Kiai ....”
Darno hanya diam memperhatikan dialog guru dan murid di hadapannya.
Sarimin kemudian menjelaskan panjang lebar mengapa hari itu ia bertandang dengan membawa Darno.
“Oh, begitu ...,” Kiai Soleh manggut-manggut.
“Tolong didongengi dia ini, Kiai!”
“Loh, kok didongengi?” Darno yang tadi diam terbelalak. “Katanya tadi mau minta doa-doa, gimana sih kamu ini, Min?”
“Hahaha ..., kelakuanmu itu masih tetap saja Min, Min ...,” Kiai Soleh tertawa lepas.
Sarimin cengar-cengir.
“Ya sudah, begini saja, saya mau mendongeng dulu, habis itu kita baca doa bersama.”
“Ya begitu lebih baik, Kiai!” kata Sarimin tegas.
Darno masih gondok karena dikerjai sarimin.
“Dahulu kala tersebutlah sebuah kerajaan yang adil dan makmur,” kata Kiai Soleh membuka dongengnya.
Kerajaan itu dipimpin oleh dua serangkai yang sangat serasi, yaitu raja dan patih. Sang Raja adalah seorang yang tegas dan pemberani, sedangkan Sang Patih adalah seorang yang bijaksana. Setiap kali Sang Raja akan melakukan tindakan atau memutuskan sesuatu, dia selalu berunding terlebih dulu dengan Sang Patih.
Suatu hari Sang Raja memanggil patihnya. “Paman Patih, kemarilah!”
“Hamba, Paduka Raja, ada apa gerangan Paduka memanggil hamba?” tanya Sang Patih.
“Paman Patih, beberapa hari lagi aku akan berburu, kuharap engkau bersedia menemaniku.”
“Tentu saja, Paduka, hamba akan senang hati menemani.”
Pada hari yang direncanakan, Raja dan Patih berangkat berburu ke hutan. Sang Raja menunggang kuda di depan, di belakangnya Sang Patih diikuti beberapa prajurit.
Setelah menempuh perjalanan beberapa lama, rombongan itu memasuki hutan belantara. Tiba-tiba didekat sebuah pohon besar, kuda Sang Raja meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Ini pertanda kuda itu melihat sesuatu yang berbahaya. Ternyata benar, seekor ular berbisa terlihat menghadang ditengah jalan.
Sang Raja segera bertindak dengan mencabut pedangnya. Tetapi rupanya ular itu bergerak lebih cepat. Sebelum pedang Raja terayun, ular itu sudah menyerang dan berhasil menggigit jari kelingking Raja. Secepat kilat sang Raja mengayunkan pedang untuk membalas ular itu. Seketika ular itu pun terpotong menjadi dua.
“Hah! Ular sialan, jariku digigtnya ...,” umpat Sang Raja dengan marah.
Sang Patih melihat bahwa ular yang baru menggigit raja bukanlah ular biasa, melainkan ular yang sejenis berbisa.
“Paduka Raja, bisa ular ini sangat ganas! Cepat potong jari kelingking Paduka sebelum bisanya menjalar ke seluruh tubuh Paduka!” ucap sang Patih dengan nada cemas.
Mendengar perkataan itu, Sang Raja cepat memotong jari kelingkingnya dengan pedang. Ia selamat dari bisa ular yang sangat berbahaya, tetapi ia harus kehilangan jari kelingkingnya.
Ketika beberapa prajurit membalut lukanya, Raja terlihat sangat kecewa. Ia terus mengeluhkan satu jarinya yang dipotong.
“Sungguh sial nasibku hari ini. Jariku digigit ular ..., kini jariku hilang satu,” ucap Raja dengan nada sedih.
Mendengar Sang Raja berkeluh kesah, Sang Patih yang bijaksana berusaha menghiburnya.
“Paduka Raja, terimalah semua yang sudah menjadi ketentuan Yang Kuasa. Pasti ini ada hikmahnya,” kata Patih dengan penuh empati.
“Hah, Patih! Enak saja kau ngomong begitu! Tanganku kini tidak utuh lagi. Kau benar-benar tidak mengerti perasaanku!”
Sang Raja benar-benar murka mendengar kata-kata patihnya. Dengan geram diperintahkannya para prajurit untuk menangkap Patih.
“Prajurit, tangkap patih yang kurang ajar ini! Masukkan dia kedalam penjara!”
Beberapa prajurit pengikut rombongan Raja segera menangkap Sang Patih. Mereka membawa Sang Patih kembali ke istana untuk dijebloskan ke dalam penjara. Sementara itu, walau satu jarinya terputus Sang Raja tetap melanjutkan berburu dengan ditemani beberapa prajurit yang tersisa.
Rombongan kecil Sang Raja semakin lama semakin jauh masuk ke dalam hutan belantara. Tanpa disadari oleh Sang Raja, rupanya rombongan itu telah memasuki wilayah Bubuhu. Mereka baru sadar ketika beberapa orang suku bubuhu mengepung rombongan Raja.
“Hahaha ..., akhirnya kita mendapat kurban untuk upacara kita,” kata salah seorang pengepung.
“Sungguh beruntung nasib kita, hahaha ...,” ucap orang-orang suku Bubuhu lainnya sambil berjingkrak-jingkrak dan mengacung-ngacungkan tombak mereka.
Para prajurit Raja yang tinggal sedikit itu tidak berdaya melawan anggota suku Bubuhu yang jauh lebih banyak. Mereka semua ditangkap, dijadikan tawanan, lalu dibawa ke hadapan kepala suku Bubuhu.
“Kepala Suku, akhirnya kita mendapat korban untuk persembahan kepada dewa-dewa,” kata pemimpin prajurit suku Bubuhu yang berhasil menangkap rombongan Raja.
“Bgus! Coba kemari biar ku periksa,” kata kepala suku Bubuhu.
Rombongan Raja yang menjadi tawanan itu lalu dijejerkan di hadapan kepala suku Bubuhu. Sang Kepala Suku kemudian memeriksa tangkapan mereka satu per satu. Ketika memeriksa Sang Raja, kepala Suku Bubuhu terkejut.
“Hai pengawal, lepaskan orang satu ini. Jari tangannya tidak utuh, dia tidak bisa kita jadikan persembahan upacara kita, nanti malah membawa sial untuk kita!”
Dengan segera seorang pengawal melepaskan Raja dari ikatannya. Sang Raja gembira bukan main. Ia segera memacu kudanya untuk pulang kembali ke istana. Begitu sampai di istana, Sang raja segera menuju penjara untuk membebaskan Sang Patih.
“Paman Patih, maafkan aku, aku telah salah memenjarakanmu. Ternyata yang kau katakan benar, putusnya jariku ad hikmahnya. Aku batal dijadikan persembahan oleh suku Bubuhu.”
“Paduka Raja tidak perlu minta maaf, justru hamba yang berterima kasih kepada Paduka,” ucap Sang Patih dengan mantap.
“Mengapa kau berterima kasih, Paman Patih?”
“Kalau saja Paduka tidak memenjarakan hamba, mungkin hamba sudah menjadi bagian orang-orang yang dikurbankan oleh suku Bubuhu.”
Sang raja manggut-manggut mendengar perkataan patihnya. Ia pun semakin percaya dengan kata0kata patih, bahwa semua yang diberikan Tuhan pastilah yang terbaik baginya.
“Tidak semua yang kita inginkan akan membawa kebaikan dan tidak semua yang kita benci membawa keburukan,” kata Kiai Soleh menutup dongengnya.
“Tuh, dengar enggak?” Sarimin berkata kepada Darno.
Darno masih tetap diam.
Darno tidak sendirian. Ada banyak orang yang merasa di dunia ini mau kiamat manakala sesuatu yang diimpikannya gagal dicapai. Boleh jadi ia seorang pemuda yang ditolak cintanya oleh sang idola. Boleh jadi ia seorang ayah yang tengah mendambakan anaknya diterima di sekolah favorit, tetapi ternyata sang anak harus tereliminasi karena nilai NEM-nya cekak. Dan masih banyak lagi kasus serupa.
Kitab suci mengatakan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)
Tak terhitung jumlah orang yang kecewa dengan sesuatu yang dulu didambanya dan tidak terbilang juga orang yang berbahagia dengan sesuatu yang dulu yang dulu ditolaknya mentah-mentah.
Semua kita mafhum jika ada orangtua yang tega mengecewakan anak tercintanya ketika sang anak meminta sesuatu, karena menurut kacamata orang tua permintaan itu malah akan membahayakan diri sang anak sendiri. Ada sejumlah kisah orangtua yang menolak lamaran seorang pemuda karena menurutnya pemuda itu tidak akan bisa membahagiakan anak gadisnya, meski pemuda itu sangat dicintai sang anak.
Nah, kalau kerena cinta orangtua bisa bertindak seperti itu, apalagi Zat Yang Maha Penyayang, yang dari-Nya lah cinta dan kasih sayang orangtua itu berasal.
Jadi bagaimana?? sungguh mensyukuri apa yang telah kita dapatkan itu nikmat dari pada bergelimang marah dalam hal yang tidak mau kita terima tetapi telah kita terima. Kuncinya itu adalah berfikir positiflah kepada Allah SWT.

sumber: Pesantren Dongeng, by Awang Surya. 

0 komentar:

 

Arisbayati.. Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea